Sunday, March 25, 2012

Ustadzah Avatar ?

Sudah menjadi kebiasaan saya, setiap akhir tahun pelajaran, di pertemuan terakhir saya selalu menyebarkan kertas-kertas kecil (K3) yang dibagian atasnya saya ketikkan tulisan "Ustzh.Izzah in my opinion" kemudian, di bawah kalimat tersebut diberi beberapa baris kosong untuk diisi. K3  ini saya simpan, bahkan ada yang dijilid. Kadang, ketika jenuh melanda K3 ini bisa menumbuhkan semangat saya. Dan jenuh ? sudah lupa tuh ! Yaah... minimal berkuranglah...
Ada satu opini yang membuat saya kesentrum dan sulit melupakannya, sampai detik ini setelah lebih sepuluh tahun karir mengajar saya. Tulisannya sederhana "Ustzh. Izzah kalau marah seperti ada api masuk ke telinga ana, ana jadi kapok. Marahnya mantab !" Ia menulis mantap dengan huruf b karena kebiasaan saya di kelas ketika memuji saya suka menyebut "man..tab.. bek" (kolkola kubro).
Saya tahu siapa murid saya yang menulis opini nyentrum ini. Berpura-pura tidak tahu, opini mereka saya bacakan satu per satu. Tanpa melihat yang menulis saya membacakannya. Salah seorang murid nyeletuk  "Berarti Ustadzah Avatar, yang menguasai api, tapi ini lebih canggih apinya bisa masuk ke telinga" Semua murid "geer" tertawa kecuali si penulis opini. Saya menanggapi (tak lupa menaruh jari teunjuk dan jempol membentuk huruf L di dagu, dan menganggukkan kepala) "Hmmm... kalau begitu Ustadzah harus menambah ilmu Ustadzah dengan ilmu menguasai air, jadi setelah marah Ustadzah bisa menyejukkan hati antum semua, gimana ? suai ?" "Suai-suai,..." Mereka kembali tertawa meriah, kelas terasa sangat cerah. Ketika pulang, genggaman tangan si penulis terasa berbeda. Dengan senyum dikulum dia berbisik "Ustadzah, ana tetap suka Ustadzah, walau Ustadzah marah" . Hati saya mengembang rasanya, saya berikan senyum terbaik dan mengacungkan jempol kepadanya.
Opini nyentrum ini membuat saya teringat sabda Rasulullah SAW ; "Kekuatan bukanlah ketika ia mampu menguasai manusia akan tetapi kekuatan adalah ketika ia mampu menguasai dirinya ketika marah".  Saya intropeksi diri ; Sudah berapa kalikah saya memarahi murid saya ? Ah, saya tak bisa menghitungnya. Sebab, kadang kala atau sering kali (?) ketika memberikan nasihat sya juga marah. Ketika saya marah lalu ujung-ujungnya menasehati. Betapa nasehat sering dibumbui marah atau marah ditambahi nasehat. Tak heran kebiasaan buruk murid saya jadinya terulang lagi karena marah lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan dan cenderung untuk diulang. Semacam kecanduan atau kekebalan untuk dimarahi ?
Opini yang nyentrum ini menyadarkan saya agar tidak lagi mencampuradukkan marah dan nasehat. Betapa marah harus dihindari dan diakhiri dengan meminta maaf. Marah haruslah tidak menyakiti telinga dan atau bahkan hati murid saya. Nasehat yang diberikan tanpa marahlah yang akan membuat mereka berubah. Kepada Alloh SWT saya meminta ampun, betapa saya harus terus belajar dan belajar.
(SDIT Al Ittihad Rumbai, 2005)

No comments:

Post a Comment