Menceritakan pengalaman naik kendaraan bagiku berarti menceritakan pengalaman mengendarainya. Aku bisa mengendarai sepeda motor setelah aku membeli motor bermerk Karisma. Aku belajar mengendarainya diajari oleh teman sepengajian. Temanku ini, suaminya mengajar di sekolah yang sama denganku. Jauh sebelum motor kubeli, aku sudah memiliki Surat Izin Mengemudi / SIM B. Waktu itu ada tawaran dari orang tua murid yang polisi kepada kami guru-guru untuk membuat SIM secara komunal. Jadilah aku memiliki SIM mudah dan murah, walau belum pandai mengendarai motor. Bahkan SIM tersebut, hampir tidak berlaku lagi. Hanya satu kali belajar, ketika pergi, temanku yang mengendarai tetapi ketika pulang aku yang mengendarai motor. Aku baru berani mengendarai motor secara rutin ke sekolah beberapa minggu kemudian. Malangnya, ketika pulang sekolah di jembatan terjadi kemacetan, aku terjatuh, motor menghimpit badanku. Alhamdulillah ... ada orang yang membantuku untuk mendirikan motor sehingga aku pun bisa berdiri. Menahan sakit dan menangis dalam hati, aku pulang dengan mengendarai motor semakin pelan. Aku dipijit oleh Bude tukang urut dekat rumah. Penyebab jatuh baru kuketahui keesokkan harinya di sekolah. Suami teman yang mengajariku bertanya “Buk Fai, ketika macet pinggiran jembatan dipegang ya?” Aku hanya mengernyitkan kening. Dia lanjut ngomong “Lain kali Buk Fai, kalau berhenti jangan tangan kita yang memegang tetapi kaki diturunkan” Aku hanya menganggukkan kepala dan berterimakasih padanya.
Beberapa tahun kemudian Ayahku membeli mobil, sebelum mobil datang Ayah sudah menyarankan agar aku kursus menyetir. Maka akupun mendaftar kursus. Kursus inilah yang benar-benar membuat stres. Hari pertama kursus, entah berapa kali mobil kubuat mati mendadak karena salah injak dan belum hafal yang mana kopling, rem dan gas. Mobil kubuat memanjat trotoar, berbelok selalu patah, dan lain-lainnya. Pertemuan berikutnya, ada rasa kapok, aku malas datang sehingga si pelatih kursus Pak Sudir menawarkan untuk menjemput ke rumah. Terpaksalah, dari pada merepotkan, aku kembali datang kursus. Pertemuan kedua, alhamdulillah lancar. Tapi makin lama, kursus stirnya semakin sulit, si pelatih mengajarkan mengendarai mobil di jalan mendaki, mendaki dan berbelok, mendaki dan berhenti karena simpang empat dan ada lampu merahnya. Beberapa kali mesin mobil mati karena aku belum bisa menggantung kopling. Aku sampai memohon ke Pak Sudir agar tidak menempuh jalan-jalan yang “sulit” tersebut. Dasar, Pak Sudir cerdik dia mengarahkanku untuk membawa mobil ke jalan-jalan yang aku sendiri tidak tahu dimana dan ujung-ujungnya sampai lagi di jalan-jalan yang sulit tadi. Lama kelamaan keberanianku semakin bertambah karena merasa sudah semakin lihai mengendarai mobil. Di pertemuan-pertemuan akhir justru aku yang minta diajarkan menyeberangi jembatan, parkir di mall atau pasar yang ramai. Begitulah, dari empat belas kali jatah pertemuan kursus stir, aku sudah dapat SIM A di pertemuan ke sepuluh.
Kendaraanku ke sekolah berganti dari motor menjadi mobil. Hari pertama mengendarai mobil, lagi-lagi kecelakaan. Bemper belakang mobil ditabrak keras oleh motor. Aku tidak bisa menyalahkan si pembawa motor karena aku memang mengerem mendadak karena mobil di depanku juga berhenti mendadak. Sejak kecelakaan, di kaca belakang mobil kutempeli tulisan “JAGA JARAK” yang kuprint sendiri berwarna merah. Muridku yang iseng malah menyarankan tulisan tersebut ditambahkan dengan tulisan "SOPIR BAGAK" yang artinya sopir berani, maksudnya sama agar tidak ada yang berani dekat-dekat sehingga tidak ditabrak lagi. Aku membawa mobil pulang pergi ke sekolah bertiga dengan dua orang ponakanku. Mobilku lama kelamaan penuh karena ada beberapa orang murid yang ikut denganku, pergi dan pulang sekolah. Jadilah mobil APV, menjadi mobil jemputan. Dengan adanya murid jemputan, APV bisa “minum sendiri” alias biaya bensinnya dari uang jemputan. Bahkan, sekali setahun APV juga bisa membayar sendiri pajaknya. Setelah setahun mengantar jemput anak-anak, aku berinisiatif untuk syukuran karena dalam setahun yang sudah berlalu tidak ada terjadi kecelakaan. Sepulang sekolah, aku membelikan makanan dan minuman yang disukai anak-anak jemputan, mereka sangat gembira dan mendoakan semoga di tahun berikutnya juga seperti tahun yang sudah berlalu. Jadi, kalau di perusahan ada “Safety Working Award” maka kami merubahnya menjadi “Safety Driving Treat” atau “Traktiran Mengendarai dengan Selamat”. Ini menjadi tradisi tersendiri di jemputan, sehingga jika aku lupa murid-murid jemputan mengingatkan.
Suatu hari, sepulang sekolah aku merasa diikuti oleh mobil di belakangku. Kutanyakan ke murid-murid jemputan ada yang tahu dengan mobil yang dibelakang. Salah seorang menjawab bahwa mobil itu sudah mengikuti dari parkiran di sekolah. Di rumah ketiga, aku menurunkan murid jemputanku, mobil “penguntit” mengklakson dan aku berhenti. Seorang Ibu keluar dan menghampiriku “Ustadzah, anak saya bisa ikut mobil Ustadzah ?” “Wah, nggak bisa Bu, mobil saya sudah penuh” jawabku. “Anak saya maunya naik mobil Ustadzah, anak saya badannya kecil kok”. Aku bertanya dimana rumahnya, ternyata rumahnya jauh dari rute jemputan yang aku lalui. Kusarankan agar anaknya naik mobil jemputan lain, dan aku memberikan nomor telefon teman yang juga membawa mobil. Di rumah, ponakanku yang laki-laki berkata “Aku tahu, kenapa Ibu tadi pingin anaknya naik APV kita”. “Kenapa?” “Karena Etek sopir yang berkarisma” jawab ponakanku. “Berkarisma? sok tahu kamu emang karisma tu apa?” tanyaku lagi. “Iyyaaa... Etekkan sebelum bawa mobil bawa motor karisma..” jawabnya sambil berlalu ke kamar mandi. Adiknya yang perempuan menimpali “Etek ni, mentang-mentang yaa... bawa mobil APV, lupa motor karisma” Duuh... aku semakin tak mengerti atau bahkan mereka yang tak mengerti. Entahlah...
Etek = istilah bahasa Minang artinya Bibi, saudara perempuan Ibu / Ayah
Pekanbaru, 27 Oktober 2017
Cerita ini pengalaman nyata, ditulis untuk mengikuti Kuis di Grup Kelas Mentoring Lanjutan Sekolah Perempuan edisi Oktober 2017. Semoga Berkenan...